OLEH TGK ALIZAR USMAN, S.Ag, M.Hum
A. Pendahuluan
Para ulama sepakat
bahwa agama Islam yang mulia ini sudah sempurna dan tidak ada kekurangan
sesuatu apapun, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (Q.S. Al-Maidah : 3)
Berdasarkan
ayat di atas, nyatalah bagi kita bahwa
setiap ketetapan hukum yang dinisbahkan kepada agama Islam haruslah berdasarkan dalil syara’ yang diakui dalam agama dan setiap ketetapan hukum yang tidak berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka harus ditolak dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang tercela. Rasulullah SAW bersabda :
setiap ketetapan hukum yang dinisbahkan kepada agama Islam haruslah berdasarkan dalil syara’ yang diakui dalam agama dan setiap ketetapan hukum yang tidak berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka harus ditolak dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang tercela. Rasulullah SAW bersabda :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه
Artinya : Aku tinggalkan padamu dua perkara, niscaya kamu tidak akan
tersesat selama kamu memegangnya, yaitu Kitab Allah dan al-Sunnah
Nabi-Nya.(H.R. Malik)[1]
Namun demikian
kesempurnaan agama Islam ini bukan berarti semua masalah kehidupan di
dunia ini sudah di atur sedemikian rupa. Seandainya semua urusan di
dunia ini sudah diatur secara terinci dalam sebuah kitab suci, sungguh
tidak cukup kertas dan tinta yang ada di dunia ini untuk menulis semua
persoalan hidup karena tentunya banyak sekali persoalan-persoalan yang
muncul yang mengharuskan adanya jawaban hukum. Kesempurnaan Islam,
pengertiannya adalah Islam mempunyai norma-norma atau aturan-aturan
dalam bentuk garis-garis besar yang menjawab persoalan-persoalan yang
muncul dari masa kemasa. Norma-norma atau aturan-aturan dalam bentuk
garis-garis besar tersebut dijadikan acuan oleh ulama guna menjawab sebagian persoalan-persoalan yang muncul yang belum ada jawaban dari nash sharih dari syara’.
Imam an-Nawawi dalam komentar beliau terhadap Q.S. Al-Maidah : 3 di atas, mengutip hadits :
إِذَا اِجْتَهَدَ الْحَاكِم فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا اِجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر
Artinya : Seorang
hakim apabila berijtihad, ternyata ijtihadnya benar, maka mendapat dua
pahala dan kalau berijtihad, ternyata ijtihadnya salah, maka mendapat
satu pahala.(H.R. Bukhari[2] dan Muslim[3] )
Kemudian beliau mengatakan :
“Ini merupakan dalil bahwa sebagian hukum diserahkan kepada ijtihad ulama dan mereka mendapat pahala atas ijtihadnya”. [4]
Namun dalam upaya ijtihad ini, para ulama disamping mempedomani kepada nash syari’at (al-kitab dan al-sunnah)
secara khusus, juga mempedomani kepada nash-nash yang bersifat umum,
meskipun kadang-kadang produk ijtihad tersebut tidak ada contoh secara
khusus dari perbuatan Rasulullah SAW (al-sunnah al-fi’li). Dalam konteks inilah munculnya pembahasan apa yang sering disebut oleh ulama sebagai bid’ah hasanah.
B. Hadits-hadits yang mencela bid’ah
Hadits-hadits
yang mencela bid’ah banyak tersebar dalam kitab-kitab hadits. Berikut
beberapa hadits saja yang dianggap memadai untuk memahami hukum
melakukan perbuatan bid’ah, yaitu antara lain :
1. Hadits dari Jabir r.a., Nabi SAW bersabda :
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya : Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat. (H.R. Muslim)[5]
2. Sabda Nabi SAW :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya : Jauhkanlah mengada-adakan suatu perkara agama. Karena
sesungguhnya setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat (H.R Abu Daud [6]dan Ibnu Majah[7])
3. Sabda Nabi SAW :
وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
Artinya :
Seburuk-buruk perkara adalah mengada-adakan suatu perkara agama. Setiap
yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk dalam neraka (H.R.al-Nisai)[8]
4. Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari [9] dan Muslim [10])
5. Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak berdasarkan agama kami, maka tertolak (H.R. Muslim)[11]
6. Sabda Nabi SAW :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Artinya : Barangsiapa
yang melakukan bid’ah dhalalah, maka Allah dan Rasul-Nya tidak akan
merestuinya dan ia akan ditimpa dosa sebagaimana dosa orang yang ikut
melakukannya dengan tidak mengurangi dosa manusia sedikitpun. (H.R. Turmidzi, beliau mengatakan : Ini hadits hasan)[12]
C. Pengertian bid’ah
Perkataan bid’ah secara lughawi (bahasa) menunjukkan arti
penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Dalam
Kamus Mukhtar al-Shihah disebutkan,
“abda’a al-syai’, artinya mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Ibnu Faris dalam Kamus Mu’jam Maqayis al-Lughat mengatakan :
“Huruf baa’ daal dan ‘ain ada dua asal, salah satunya memulai dan menciptakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain :
1.Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;
بَدِيعُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ
صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah)
adalah Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal
Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)
Lafazh “Badii’” pada ayat di atas menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.
2. Firman Allah, Q.S. al-Ahqaf : 9 ;
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Artinya : Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul (Q.S. al-Ahqaf; 9)
Lafazh “bid’an minarrasul” pada ayat di atas, mengandung arti
yang pertama dari rasul-rasul. Artinya, tidak ada rasul sebelumnya.
Jadi, maksud ayat di atas adalah Muhammad bukanlah rasul yang pertama
yang pernah diturunkan Allah, tetapi pernah ada rasul-rasul yang
diutus-Nya sebelumnya.
3. Perkataan orang Arab ;
ابتدع فلان بدعة
ِِArtinya : Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah).
Dengan arti ia membuat suatu tatanan (cara) yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya.[13]
4.Perkataan orang Arab ;
هذا أمر بديع
ِArtinya : Ini adalah perkara yang mengagumkan
Sebuah ungkapan yang
ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik
darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau
yang serupa dengannya.[14]
Berdasarkan
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru yang
belum pernah ada sebelumnya, dinamakan sebagai bid'ah secara bahasa.
Adapun
dalam pembahasan fiqh, berdasarkan keterangan para ulama setelah ini,
dapat disimpulkan bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu :
1. Bid’ah hasanah,
Yaitu : Amalan
yang tidak ada contoh dari Nabi SAW tetapi mempunyai dalil umum atau
qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini diterima amalannya.
2. Bid’ah dhalalah,
Yaitu : Amalan
yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dan tidak ada dalil umum atau
qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini tidak diterima
amalannya
D. Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Berikut keterangan ulama
mengenai kedudukan amalan yang tidak contoh dari Nabi SAW, selanjutnya
amalan ini disebut dengan bid’ah, antara lain :
1. Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang
diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah
bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian,
tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji” [15].
2. Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka
yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan
sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).[16]
3. Syaikh
Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah
dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan
mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di
atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh
wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang,
contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti
memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan
ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan
Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan
madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat
Subuh dan Ashar.[17] Pembagian
model Abdussalam ini, bid’ah dikelompokkan sesuai dengan hukum syara’,
yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pembagian ini apabila kita
perkecilkan, maka kelompok bid’ah haram, makruh, masuk dalam kelompok
bid’ah dhalalah. Sedangkan kelompok bid’ah sunnah, mubah dan wajib,
masuk kelompok bid’ah hasanah. Intinya, pembagian ini mengakui adanya
bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Pembagian bid’ah seperti yang
dilakukan oleh Abdussalam di atas juga dilakukan Imam an-Nawawi dalam
Syarah Muslim.[18]
4. Ibnu
Hajar al-Haitamy dalam Fath al-Mubin berpendapat amalan yang tidak ada
contoh dari Nabi SAW dapat diterima amalannya, asalkan ada dalil syara’
yang bersifat umum mendukungnya. Beliau mengatakan :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung
oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya,
bahkan amalannya diterima”. [19]
5. Senada dengan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy di atas adalah pendapat Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau qaidah
syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun
seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan
lain-lain.”[20]
6. Badruddin al-‘Aini dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan :
“Bid’ah terbagi dua, jika termasuk dalam katagori baik pada syara’ , maka bid’ah hasanah dan jika termasuk dalam katagori keji pada syara’, maka bid’ah mustaqbihah (keji)[21]
7. Dr. Wahbah al-Zuhaili (ulama Timur Tengah yang cukup terkenal pada zaman sekarang) mengatakan :
“Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas dari bahwa
adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika ada
dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang dianjurkan Allah dan
Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam katagori
terpuji, meskipun yang sama dengannya tidak pernah ada sebelumnya
seperti yang termasuk dalam katagori kebaikan, dermawan dan perbuatan
ma’ruf. Maka semua perbuatan ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun
tidak ada yang melakukannya sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar
r.a. “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan sebab ini termasuk dalam
katagori perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan jika ia masuk dalam
katagori menyalahi apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya, maka ia
termasuk dalam katagori tercela dan ingkar.[22]
E. Dalil bid’ah terbagi kepada hasanah dan dhalalah
1. Firman Allah :
وَجَعَلْنَا
فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً
ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ
اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا
مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Artinya
: Dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa
santun dan kasih sayang dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal
Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan
kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di
antara mereka orang-orang fasik.(Q.S. al-Hadid : 27)
Rahbaniyah adalah sikap meninggalkan kehidupan dunia dengan menjauhi perempuan dan menetap dalam gereja.[23]
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala memberikan pahala kepada orang-orang
beriman diantara mereka, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah dengan
melakukan rahbaniyah dan memeliharanya dengan semestinya.
Penafsiran seperti ini dapat kita lihat antara lain dalam Tafsir
al-Shawy, beliau mengatakan :
“Firman
Allah Ta’ala “rahbaniyah ibtatada’uuha” maksudnya adalah orang-orang
yang shaleh diantara mereka melakukan bid’ah dengan melakukan
rahbaniyah. “Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya”, yakni orang lain yang datang setelah mereka. “Maka Kami
berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya”,
yakni orang-orang yang melakukan bid’ah rahbaniyah karena mencari
keredhaan Allah. “Dan banyak di antara mereka orang-orang fasik”, yakni
orang-orang yang datang setelah mereka. [24]
Menurut
penjelasan Tafsir al-Shawy di atas, bid’ah yang dilakukan oleh
orang-orang Nashrani yaitu bid’ah rahbaniyah justru mendapat pahala dari
Allah Ta’ala karena dilakukan dengan keikhlasan mencari redha dari
Allah. Ta’ala. Allah Ta’ala hanya mencela sekelompok orang dari mereka
yang tidak memelihara bid’ah itu dengan pemeliharaan yang semestinya,
yaitu menambahnya dengan trinitas, kekufuran dan lain-lain. Penafsiran
yang serupa dapat kita perhatikan dari penafsiran yang dikemukakan oleh
Abubakar al-Jashas, yaitu :
“Allah
memberitakan tentang bid’ah yang mereka lakukan yaitu qurbah dan
rahbaniyah, kemudian Allah mencela mereka karena meninggalkan
pemeliharaan bid’ah itu dengan semestinya melalui firman Allah “Famaa
ra’auha haqqa ri’ayatiha”.
Selanjutnya Abubakar al-Jashas mengutip sebuah hadits sebagai pendukung penafsirannya tersebut, yaitu riwayat dari Abi Umamah al-Bahily, beliau berkata :
“Orang-orang Bani Israil melakukan bid’ah yang tidak diwajibkan oleh Allah atas mereka
hanya karena mereka mencari keredhaan Allah. Lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, maka Allah mencela
mereka dengan sebab meninggalkan pemeliharaan bid’ah tersebut.”[25]
Berdasarkan
penafsiran ahli tafsir di atas, dapat dipahami bahwa apa yang disebut
dengan bid’ah itu tidak selamanya tercela, tetapi sebagiannya justru ada
yang dianggap baik, bahkan mendapat pahala dari Allah Ta’ala
sebagaimana kisah Bani Israil yang termaktub dalam firman Allah Surat
al-Hadid di atas.
2. Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari [26] dan Muslim [27])
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu”
(sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan
dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil
agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau
berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung
oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya,
bahkan amalannya diterima”. [28]
Mafhum mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dari hadits
di atas itulah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah dalam pembahasan di
sini. Dengan demikian, hadits di atas dapat menjadi dalil adanya bid’ah
hasanah. Penjelasan serupa tentang pengertian perkataan “maa laisa minhu” pada hadits di atas, juga disampaikan Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Artinya adalah suatu pemikiran yang tidak ada ‘azhid (sokongan) yang
dhahir atau tersembunyi dari al-Kitab atau as-Sunnah, baik dalam bentuk
lafazh maupun hasil istinbath”.
Selanjutnya beliau berkata :
“ Adapun yang ada azhid-nya yakni didukung oleh dalil atau qaidah
syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun
seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan
lain-lain.”[29]
Ibnu al-Mulaqqan dalam memaknai hadits di atas mengatakan :
”Makna
hadits adalah barangsiapa yang mengada-adakan pada syara’ sesuatu yang
tidak didukung oleh dalil dari dalil-dalil agama, maka tidak boleh
diamalkannya dan tidak melihat kepadanya.”[30]
Dipahami dari penafsiran
Ibnu Mulaqqan di atas, maka bid’ah yang ditolak adalah bid’ah yang tidak
ada dalil dari dalil-dalil agama. Adapun bid’ah yang didukung oleh
dalil agama, maka tidak ditolak berdasarkan hadits tersebut, bahkan
dapat diterima jika dipahami dari mafhum mukhalafahnya.
3. Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak berdasarkan agama kami, maka tertolak (H.R. Muslim)[31]
Pengertian hadits ini sama dengan pengertian hadits tersebut pada point kedua di atas.
Pemahaman adanya bid’ah hasanah dari mafhum mukhalafah dua hadits di atas, juga didukung oleh hadits tersebut dibawah ini.
4. Sabda Rasulullah SAW
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بعده مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئ
Artinya : Barangsiapa yang membuat sunnah yang
baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang
yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka
sedikitpun. (HR Muslim)[32]
Dalam mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan :
“Pada hadits
tersebut ada ajakan sungguh-sungguh memulai melakukan perbuatan
kebaikan, melakukan sunnah yang baik dan menjauhi mengada-ada yang
bathil dan keji.”
Selanjutnya beliau berkata :
“Hadits ini mengkhususkan sabda Rasulullah SAW ;
كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
dan pengertian hadits tersebut adalah muhdats yang bathil dan bid’ah yang tercela.”[33]
Al-Nawawi telah menjadikan hadits riwayat Muslim yang tersebut pada dalil keempat di atas, sebagai pen-takhshis (yang mengkhususkan) hadits “semua bid’ah adalah sesat”. Dengan demikian, beliau telah menafsirkan perkataan “sunnah hasanah” pada hadits riwayat Muslim tersebut sebagai bid’ah hasanah.
Al-Sanadi, salah seorang tokoh ulama Mazhab Hanafi, setelah menjelaskan bahwa pengertian “sunnah hasanah” dalam hadits tersebut
adalah jalan yang diridhai serta dijadikan sebagai pedoman, beliau
membedakan antara sunnah yang baik dengan sunnah yang keji dengan
mengatakan :
Perbedaan antara yang baik dengan yang keji adalah sesuai dengan ushul syara’ atau tidak sesuai”[34]
Dengan kata lain, al-Sanadi ingin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”sunnah hasanah”
dalam hadits tersebut adalah bid’ah hasanah. Karena pengertian bid’ah
hasanah adalah sesuatu yang sesuai dengan ushul syara’, meskipun
detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW dan sedangkan bid’ah dhalalah
adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan ushul syara’.
Namun demikian, ada sekelompok umat Islam, dalam rangka menolak bid’ah hasanah, mereka mengartikan “sunnah” pada hadits tersebut adalah sunnah Nabi SAW yang sudah pernah dilupakan ummat. Sehingga makna hadits tersebut lengkapnya adalah :
“Barangsiapa yang
menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan
ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut
mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun”
Jadi,
pengertian hadits tersebut bukanlah membuat bid’ah yang baru, tetapi
hanya menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang.
Pemahaman seperti ini jelas nampak keliru apabila ada keinginan
memperhatikan dengan sebaik-baiknya argumentasi di bawah ini, antara
lain :
a. Pemahaman
tersebut khilaf dhahir hadits. Memahami nash syara’ menurut dhahirnya
adalah wajib sebagaimana dimaklumi dalam ushul fiqh, kecuali ada qarinah (keadaan) yang memalingkannya
b. Pemahaman tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah disebut sebelum dan sesudah ini
c. Pemahaman
tersebut akan menjadi rancu apabila dihadapkan kepada penggalan kedua
dari hadits tersebut. Lengkapnya hadits tersebut dengan penggalan
keduanya sebagaimana terdalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut :
مَنْ
سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ
وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Apabila
kita mengikuti pemahaman bahwa maksud hadits tersebut adalah
menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang, maka
makna “sunnah” pada penggalan kedua dari hadits tersebut juga
bermakna sama. Sehingga makna hadits tersebut, lengkapnya kurang lebih
sebagai berikut :
“Barangsiapa yang
menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan
ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut
mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun dan
barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang keji dalam Islam, maka ia
akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang turut mengerjakannya dengan
tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun
Ini
tentunya sama halnya dengan menuduh Nabi SAW mempunyai dua sunnah,
yaitu sunnah yang baik dan sunnah yang keji. Padahal itu tidak mungkin
terjadi pada Nabi SAW. Oleh karena itu, berdasarkan ini dan dalil-dalil
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pemahaman sekelompok umat Islam
tersebut terhadap hadits tersebut adalah keliru.
5. Sabda Nabi SAW :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Artinya : Barangsiapa
yang melakukan bid’ah dhalalah, maka Allah dan Rasul-Nya tidak akan
merestuinya dan ia akan ditimpa dosa sebagaimana dosa orang yang ikut
melakukannya dengan tidak mengurangi dosa manusia sedikitpun. (H.R. Turmidzi, beliau mengatakan : Ini hadits hasan)[35]
Yang dicela dalam hadits ini adalah bid’ah yang disebut dengan sifat dhalalah. Mafhum mukhalafah-nya, bid’ah yang tidak bersifat dengan dhalalah, yaitu bid’ah hasanah merupakan perbuatan tidak tercela.
6. Pengakuan
Rasulullah SAW terhadap perbuatan atau perkataan sahabat yang dilakukan
atau dikatakan oleh sahabat tanpa bersandar kepada dalil khusus dari
al-Kitab atau al-Sunnah.
Penjabaran pernyataan di
atas adalah seorang sahabat Rasulullah SAW melakukan (meng-ihdats) suatu
tindakan dalam ibadah tanpa menyandarkan kepada dalil khusus, baik dari
al-Qur’an maupun dari hadits, kemudian Rasulullah SAW mengetahui kasus
tersebut, beliau diam atau mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa
beliau merestui tindakan tersebut. Pengakuan Rasulullah SAW ini
menunjukkan adanya bid’ah hasanah, karena tindakan sahabat yang direstui
oleh Rasulullah SAW tersebut meskipun tanpa mempunyai dalil khusus,
tetapi didukung oleh dalil atau qawaid agama yang bersifat umum.
Tindakan sahabat Nabi SAW yang termasuk katagori ini antara lain :
1). Hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء النبي
صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال
رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من
المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya : Dari Rifa’ah bin
Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat
dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari
rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang
laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban
mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya :
“Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah
bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) [36]
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats
(mendatangkan dengan tanpa ada contoh sebelumnya) zikir yang tidak
ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir
yang ma’tsur”.[37]
Mendatangkan
dalam shalat zikir yang tidak bertentangan dengan yang ma’tsur
merupakan bid’ah hasanah. Sebaliknya zikir yang bertentangan dengan yang
ma’tsur, termasuk bid’ah
dhalalah. Karena bid’ah dhalalah merupakan sesuatu yang diada-adakan
serta bertentangan dengan dalil-dalil agama.
2). Hadits Anas, beliau berkata :
أن رجلا جاء فدخل الصف وقد
حفزه النفس. فقال:الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. فلما قضى رسول
الله صلى الله عليه وسلم صلاته قال: "أيكم المتكلم بالكلمات؟" فأرم القوم.
فقال "أيكم المتكلم بها؟ فإنه لم يقل بأسا" فقال رجل: جئت وقد حفزني النفس
فقلتها. فقال "لقد رأيت اثني عشر ملكا يبتدرونها. أنهم يرفعها".
Artinya : Dari Anas, beliau berkata : “Seorang laki-laki
tiba memasuki shaf (shaf shalat) dengan tersengal-sengal napasnya, lalu
berkata : “Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi.
Manakala Rasulullah SAW selesai dari shalatnya, beliau bertanya :
“Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?” semua
orang terdiam. Rasulullah
bertanya lagi : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa
kalimat ?”. Tidak ada yang menjawab seorangpun. Maka berkata seorang
laki-laki : “Aku tiba dengan tersengal-sengal napasku, karena itu aku
katakan kalimat itu”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya aku
telah melihat dua belas orang malaikat berebutan mengangkatnya
(pahalanya)”. (H.R. Muslim) [38]
Rasulullah SAW tidak mencela sahabatnya mengucapkan Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi dalam
shalatnya, bahkan beliau memujinya, padahal ucapan tersebut tidak
disandarkan kepada dalil khusus, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah pada
saat itu. Hal
ini karena tindakan sahabat tersebut masuk dalam dalil atau qawaid
agama yang bersifat umum. Ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah.
3). Hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
بينما نحن نصلي مع رسول
الله صلى الله عليه وسلم إذ قال رجل من القوم: الله أكبر كبيرا. والحمد لله
كثيرا. وسبحان الله بكرة وأصيلا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من
القائل كلمة كذا وكذا؟" قال رجل من القوم: أنا. يا رسول الله! قال "عجبت
لها. فتحت لها أبواب السماء".قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول ذلك
Artinya : Dari Ibnu Umar,
beliau berkata : “Manakala kami shalat bersama Rasulullah SAW, berkata
seorang laki-laki yang berasal dari suatu kaum : “Allahu Akbar kabiiraa
walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, Rasulullah
SAW bertanya : “Siapa yang mengatakan kalimat seperti ini dan seperti
ini ?. laki-laki dari kaum itu menjawab : “Aku Ya Rasulullah” Rasulullah
bersabda : “Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit
untuknya”. Ibnu Umar berkata : “Aku tidak meninggalkannya selama setelah
aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan yang demikian”.(H.R. Muslim) [39]
Ucapan “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, diucapkan
oleh seorang sahabat Rasulullah SAW dalam shalat tanpa menyandarkan
kepada al-Kitab dan al-Sunnah. Namun ucapan tersebut mendapat pujian
dari Rasulullah SAW, beliau mengatakan :
“Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”
Dengan demikian, peristiwa yang tersebut dalam hadits di atas menunjukkan kepada adanya bid’ah hasanah.
4) Kisah Bilal, salah seorang sahabat Nabi SAW yang selalu melakukan
shalat dua rakaat setelah bersuci sebagaimana disebut dalam Shahih
Bukhari. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya
diberi kabar gembira sebagai orang-orang yang lebih dahulu masuk surga,
padahal perbuatan tersebut tidak ada contoh dari Nabi SAW sebelumnya.
Riwayat tersebut adalah :
أَنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ
الْفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي
الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي
الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ
أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ ، أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ
بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
Artinya : Sesungguhnya
Nabi SAW pernah bersabda kepada Bilal pada waktu Shubuh: "Hai Bilal,
coba ceritakan kepadaku apa amalan yang paling disukai yang
kamu kerjakan dalam Islam. Karena aku mendengar bunyi terompahmu di
hadapanku di sorga.'' Bilal berkata; "Tidak ada amal yang paling di
sukai di sisiku melainkan aku tidak bersuci (berwudhu’) pada satu
sa’atpun pada malam atau siang kecuali aku shalat dengan kesucian itu
sebagaimana telah ditentukan untukku."(H. R. Bukhari)[40]
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Dipahami
dari hadits tersebut kebolehan ijtihad mengenai waktu ibadah, karena
Bilal telah melakukan apa yang telah kita sebutkan dengan istinbath
beliau. Kemudian Nabi SAW membenarkannya.”[41]
5). Hadits riwayat
Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum
beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy, padahal shalat ini tidak
ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW sebagaimana digambarkan dalam
riwayat di bawah ini :
فَلَمَّا
خَرَجُوا بِهِ مِنَ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ
خُبَيْبٌ دَعُونِي أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَتَرَكُوهُ فَرَكَعَ
رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ وَاللَّهِ لَوْلاَ أَنْ تَحْسِبُوا أَنَّ مَا بِي
جَزَعٌ لَزِدْتُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا وَاقْتُلْهُمْ
بَدَدًا ، وَلاَ تُبْقِ مِنْهُمْ أَحَدًا ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ. فَلَسْتُ
أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَىِّ جَنْبٍ كَانَ لِلَّهِ
مَصْرَعِي ، وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى
أَوْصَالِ شِلْوٍ مُمَزَّعِ. ثُمَّ
قَامَ إِلَيْهِ أَبُو سِرْوَعَةَ عُقْبَةُ بْنُ الْحَارِثِ فَقَتَلَهُ ،
وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا الصَّلاَةَ
Artinya : Ketika
mereka keluar dari daerah Haram untuk membunuhnya di daerah Halal,
Khubaib berkata kepada mereka: "Biarkanlah aku hendak shalat dua
rakaat". Mereka membiarkan Khubaib dan dia shalat dua rakaat, kemudian
berkata: "Seandainya kalian tidak menaruh sangkaan bahwa diriku tidak
gelisah, niscaya aku berlama-lama shalat. Ya Allah, hitunglah mereka,
dengan bilangan (yakni binasakanlah mereka semuanya). Aku tidak peduli,
ketika aku terbunuh sebagai muslim, di lambung mana saja, di mana
tergeletakku adalah karena Allah. Dan (pembunuhan) demikian adalah dalam
Dzat Allah. Dan Bila Dia berkehendak niscaya Dia memberkati sendi-sendi
badan yang terpotong-potong."Lalu Khubaib dibunuh oleh (Ugbah bin
Harits). Dan adalah Khubaib (orang pertama) yang membuat sunah (amalan)
shalat dua rakaat bagi setiap orang Islam yang hendak dibunuh dengan
penahanan (diberi kesempatan).[42]
Khubaib
r.a. seorang sahabat Nabi SAW, tentu tidak mungkin melakukan suatu
amalan kalau memang amalan tersebut diharamkan. Bahkan beliau wafat
sebagai seorang syuhada sebagaimana riwayat di bawah ini ;
Rasulullah SAW bersabda :
هو سيد الشهداء وهو رفيقي في الجنة
Artinya : Khubaib adalah penghulu syuhada dan kawanku dalam syurga”.[43]
Namun demikian, tidak semua ihdats (bid’ah) sahabat diterima oleh Rasulullah SAW, tetapi ada juga yang beliau ingkarinya. Hal ini karena bertentangan dengan ruh dan qawaid agama yang bersifat umum. Ini dapat kita simak dari peristiwa antara lain :
1). Perkataan Abdullah bin ’Amr :
قَالَ
لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عَمْرٍو بَلَغَنِى أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ فَلاَ
تَفْعَلْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا
وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَظًّا
Artinya : Rasulullah
SAW bersabda kepadaku : ”Hai Abdullah bin ’Amr, telah sampai berita
kepadaku, bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan shalat sepanjang malam,
maka jangan kamu lakukan itu, karena tubuh, dua mata dan isterimu ada hak atasmu” (H.R. Muslim)[44]
Rasulullah
SAW mengingkari tindakan sahabat di atas, karena puasa dan shalat
sepanjang masa bertentangan dengan sifat agama Islam yang hanif, tidak memberatkan dan lemah lembut.
2). Utsman bin Math’un
pernah mencoba hidup dengan tabattul (membujang), tetapi Rasulullah
melarangnya, sebab bertentangan dengan penjelasan al-Qur’an bahwa
manusia diciptakan berpasang-pasangan dan qawaid agama yang menganjurkan
mempunyai keturunan. Larangan Rasulullah SAW dapat disimak dalam hadits
di bawah ini :
سَعْدَ
بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَقُولُ رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ
لاَخْتَصَيْنَا.
Artinya : Sa’ad bin
Waqash berkata : Rasulullah SAW menolak permintaan Utsman bin Math’un
melakukan tabattul (membujang). Seandainya Rasulullah SAW
mengizinkannya, maka kami akan mengibiri. (H.R. Bukhari)[45]
Beberapa perbuatan sahabat Nabi SAW yang lain yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah, antara lain :
1. Tindakan Utsman bin Affan menambah azan pada shalat Jum’at menjadi dua kali sebagaimana tersebut dalam Kitab Shahih al-Bukhari[46]
2. Tindakan Ibnu Umar menambah zikir pada tasyahud dalam shalat sebagaimana riwayat Abu Daud di bawah ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى التَّشَهُّدِ "التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُه" قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ
فِيهَا وَبَرَكَاتُهُ."السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ
الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ". قَالَ ابْنُ
عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ."وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
Artinya : Dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW tentang tasyahud ;
"التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ"
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan وَبَرَكَاتُهُ “
."السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ".
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ”
."وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
(H.R. Abu Daud)[47]
Al-‘Ainy dalam syarah Sunan Abu Daud mengatakan : “sanad ini shahih”[48]
Dengan
memahami uraian di atas, maka semua hadits yang dhahirnya menunjukkan
kepada keumuman tercela bid’ah, harus dipahami bahwa yang tercela itu
hanya sebagian bid’ah saja, karena keumuman hadits tersebut sudah dikhususkan dengan dalil-dalil tersebut di atas. Termasuk yang dikhususkan oleh dalil-dalil tersebut adalah hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat (H. R. Muslim)[49]
Dengan
demikian, makna hadits ini adalah sebagian bid’ah adalah tercela, bukan
semuanya. Kesimpulan ini juga didukung oleh keterangan ulama
sebagaimana disebut di bawah ini :
1). Imam al-Nawawi mengatakan :
”Hadits Nabi SAW,
”Setiap bid’ah adalah sesat” , ini termasuk ‘am makhshus (lafazh umum
yang dikhususkan), karena bid’ah adalah setiap amalan yang tidak ada
contoh sebelumnya.”[50]
An-Nawawi
menjelaskan, bahwa tidak setiap bid’ah merupakan amalan yang sesat,
karena keumuman pada hadits tersebut dikhususkan hanya kepada sebagian
bid’ah, yaitu bid’ah dhalalah, amalan yang yang tidak didukung dalil
umum dan khusus dari syara’.
2). Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Syaraf al-Nawawi mengatakan :
”Sesungguhnya
lafazh muhdats dan lafazh bid’ah tidak dicela karena namanya, tetapi
karena makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan dan tidak
dicela yang demikian itu secara mutlaq.”[51]
Bid’ah
tidak dicela secara mutlak, tetapi hanya yang mengandung makna
menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan saja. Komentar di atas,
mafhumnya mengakui adanya bid’ah hasanah.
Namun demikian, ada juga ulama yang menafsirkan perkataan ”kullu bid’ah”
pada hadits di atas bermakna mutlaq, yakni dengan makna ”semua bid’ah”,
tidak dikhususkan hanya sebagian bid’ah saja. Tetapi berdasarkan
pemahaman ini, perkataan bid’ah dipahami sebagai setiap perkataan atau
perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung sama sekali oleh dalil syari’at
yang sah, baik dalil yang umum maupun yang sifatnya khusus. Dengan
demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana disebut sebelum
ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna ini, alias
termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang membagi bid’ah
kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama yang
bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak
ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan
uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok
ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua
kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah
SAW tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum
termasuk dalam katagori amalan yang diterima pada syara’. Mereka hanya
berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok pertama menamakan
sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua menamakannya sebagai
amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah. Ulama kelompok
kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada hadits di
atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan. Sedangkan
bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib,
sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa
sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :
1. Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan
sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang
diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.”[52]
2. Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at
yang sah adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang
tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan
dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
- wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
b. haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
c. sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
d. makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun
berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah,
namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari
Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah, haram,
sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed Alwi bin
Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed Alwi bin
Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian bid’ah
kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
3. Ibnu Katsir membagi bid'ah menjadi dua, yaitu :
- Bid'ah menurut syar'i , seperti sabda Nabi SAW :
"Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat."
- Bid'ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan dengan shalat taraweh berjama'ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :
"Sebaik-baik bid'ah adalah perbuatan ini.”[54]
4. Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan
dan tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’
sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka
tidak termasuk bid’ah. Oleh karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’
merupakan tindakan tercela, berbeda halnya bid’ah secara bahasa, maka
setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh dinamakan sebagai bid’ah,
baik ia terpuji maupun yang tercela.[55]
Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan
sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang
diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.”[56]
F. Contoh-contoh bid’ah hasanah
1. Melaksanakan shalat
Tarawih dengan berjama’ah. Izzuddin Abdussalam telah memasukkan shalat
Tarawih secara berjama’ah ini dalam kelompok ibadah katagori bid’ah
hasanah, yakni kelompok bid’ah mustahabbah.[57] Pada masa Rasulullah Shalat malam pada bulan Ramadhan, keadaannya adalah sebagaimana riwayat Aisyah r. a. di bawah ini :
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ
مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ
بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ
مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ
أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ
فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ
أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ
أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ
لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ
عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah
SAW mengerjakan shalat pada suatu malam didalam masjid , lalu diikuti
banyak orang .Keesokan malamnya Rasulullah SAW melakukan hal yang serupa
, ternyata orang-orang yang mengikuti beliau bertambah banyak. Kemudian
pada malam ketiga atau keempat mereka
kembali berkumpul sebagaimana biasanya , namun Rasulullah SAW tidak
keluar menemui mereka hingga datang waktu shubuh.Kemudian beliau keluar
dan berkata :"Aku telah melihat apa yang kalian lakukan.Tidak
ada yang menghalangiku keluar menemui kalian melainkan kekhawatiranku
hal ini akan diwajibkan atas kalian.Yaitu shalat malam pada bulan
Ramadhan."(HR. Bukhari) [58]
Setelah kejadian sebagaimana digambar pada hadits di atas, Rasulullah SAW tidak
lagi keluar shalat tarawih berjama'ah saat itu , karena kekhawatiran
beliau shalat tersebut diwajibkan atas mereka. Tetapi kemudian Umar bin
Khathab pada masa kekhalifahan beliau, memerintah kaum muslimin untuk
melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan dengan berjama’ah dengan
mengikuti seorang imam saja. Dan beliau mengatakan : “Ini adalah
sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana riwayat di bawah ini :
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ
إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي
الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ
الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى
قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ
بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Artinya : Dari Abd
al-Rahman bin Abdul Qaari, beliau berkata : “Aku keluar bersama Umar
bin Khattab r.a. pada suatu malam di bulan Ramadan ke masjid dan
orang-orang tersebar berserakan, seorang laki-laki shalat untuk dirinya
sendiri dan laki-laki lain shalat dengan beberapa orang mengikutinya.
Berkata Umar : “Aku berpendapat bahwa jika mereka berkumpul dengan satu
imam, tentu akan lebih baik. Maka Umar bercita-cita untuk menyatukan
mereka di belakang Ubay bin Ka’ab. .Kemudian aku pergi bersamanya malam
lain dan orang-orang sedang shalat mengikuti imamnya, maka berkata Umar :
sebaik-baik bid’ah adalah ini. (H.R. Bukhari)[59]
Menurut as-Suyuthi, yang dimaksud dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah hasanah.[60]
2. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab. Sebelumnya, usulan Umar ini sempat ditolak oleh Abu Bakar dengan perkataan beliau :
“Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW sebelumnya”.[61]
Namun kemudian Allah membuka cahaya hati Abu Bakar
sehingga beliau menyetujui usulan Umar ini. Izzuddin Abdussalam
memasukkan pembukuan al-Qur’an dalam katagori bid’ah hasanah, yakni kelompok bid’ah wajib.[62]
3. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah azan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-nya, yaitu :
عَنْ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ الَّذِي زَادَ التَّأْذِينَ الثَّالِثَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ
كَثُرَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ وَلَمْ يَكُنْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنٌ غَيْرَ وَاحِدٍ وَكَانَ التَّأْذِينُ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَعْنِي عَلَى الْمِنْبَرِ
Artinya
: Dari al-Sa-ib bin Yazid, sesungguhnya orang yang (yang pertama)
menambah azan ketiga (disebut tiga kali azan karena termasuk iqamah)
pada hari Jum’at adalah Usman bin Affan r.a. karena bertambah banyak
penduduk Madinah. Pada masa Nabi SAW tidak ada muazzin kecuali satu
orang dan azan pada hari Jum’at adalah pada ketika imam duduk atas
mimbar. (H.R. Bukhari)[63]
Isa bin Abdullah al-Humairy telah memasukkan ini dalam katagori amalan
yang dilakukan para sahabat, sedangkan Rasulullah SAW tidak pernah
melakukannya, yakni dengan kata lain termasuk katagori bid’ah hasanah.[64]
4. Membangun
perkumpulan dan madrasah-madrasah dan berjabatan tangan setelah Shalat
Subuh dan Ashar. Contoh-contoh ini telah disebut oleh Izzuddin
Abdussalam.[65] Imam ar-Ramli mengatakan :
“Berjabatan tangan yang biasa dilakukan manusia setelah shalat tidak ada ashalnya, tetapi tidak mengapa melakukannya”.[66]
5. Belajar ilmu Bahasa Arab
yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf,
Ma’ani, Bayan, lughat, setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman
awal dan pembahasan yang mendalam dalam ilmu Tasauf. Contoh ini telah
disebut oleh Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf .[67]
6. Memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Imam Abu Syamah, guru Imam an-Nawawi[68] dan Imam as-Suyuthi [69]
telah menyebutnya sebagai ibadah katagori bid’ah hasanah. Menurut Imam
as-Suyuthi, yang pertama sekali melakukan perayaan maulid Nabi Muhammad
SAW adalah Shahib Arbil al-Muluk al-Mudhaffir Abu Sa’id Kaukabary bin
Zain al-Abidin ‘Ali bin Baktakiin, salah seorang raja al-Amjad dan
pembesar al-Ajwad.[70] Berkata Ibnu Hajar :
“Telah muncul kenyataan
padaku mempedomani perayaan maulid Nabi kepada dalil yang shahih, yaitu
hadits shahih dalam Shahihain dari Ibnu Abbas, berkata :
قَدِمَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ
يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَن ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا
الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ
عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنكُمْ. فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ
Artinya : Rasulullah SAW tiba di Madinah,
didapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Ditanya kepada Yahudi,
kenapa mereka melakukan itu?. Hari ini adalah hari dimenangkan Musa dan
Bani Israil oleh Allah atas
Fir’un. Karena itu, kami berpuasa sebagai perhormatan baginya. Lalu Nabi
SAW bersabda : “Kami lebih patut dengan Musa dibandingkan kamu. Maka
Nabi SAW memerintah untuk berpuasa.
Dipahami dari hadits tersebut, dilakukan
perbuatan bersyukur kepada Allah atas balasan nikmat atau terlepas dari
malapetaka pada hari tertentu dan diulang-ulang yang demikian itu pada
hari yang sama pada setiap tahun.” [71]
Ibnu Hajar telah menjadikan amalan Maulid Nabi SAW diqiyaskan kepada
puasa hari ‘Asyura. Dengan demikian, amalan maulid Nabi SAW sebagaimana
yang dikenal sekarang, meskipun tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi
SAW dan para sahabat adalah sunnat, karena ada dalil yang mendukungnya.
Karena ia tidak pernah dilakukan pada Nabi SAW dan sahabat, maka disebut
sebagai bid’ah hasanah.
7. Shalat Tasbih dengan berjama’ah. Berkata al-Kurdy r.m. di dalam al-Fatawa:
“ Shalat Tasbih tidak
termasuk shalat yang disunat berjama’ah. Menurut Mazhab Syafi’i, shalat
sunat yang disyari’at berjama’ah maka disunatkan berjama’ah dan
diberikan pahala karenanya dan yang tidak disyari’atkan jama’ah maka
tidak disunatkan berjama’ah dan tidak mendapatkan pahala jama’ah karena
tidak disyari’atkan berjama’ah tetapi pahala shalat sunat tetap ada dan
tidak gugur sesuatupun. Jama’ah tersebut juga tidak makruh. Karena tidak
didapati dalam mazhab syafi’i shalat sunat yang makruh berjama’ah
sebagaimana yang telah ditetapkan, bahkan apabila diniatkan berjama’ah tersebut untuk mengajarkan orang awam maka itu termasuk cahaya atas cahaya”. [72]
8. Amalan Ibnu Abbas menjihar al-Fatihah dalam shalat jenazah. Sa’id bin Abi Sa’id berkata :
صلى بنا ابن عباس على جنازة فجهر بالحمد لله ثم قال : إنما جهرت لتعلموا أنها سنة هذا حديث صحيح على شرط مسلم
Artinya : Kami melakukan shalat jenazah bersama Ibnu Abbas. Beliau
membaca alhamdulillah secara jihar. Kemudian beliau berkata : “hanya
saja aku menjiharkannya adalah supaya kalian mengetahui sesungguhnya hal
itu adalah sunnah. Berkata Hakim : “Ini adalah hadits shahih atas
syarat Muslim”. (H.R. Hakim)[73]
9. Membaca shadaqallahuh
‘adhim setelah selesai membaca al-Qur’an. Perbuatan ini telah terjadi di
lingkungan kebanyakan kaum muslimin. Perbuatan ini meskipun tidak ada
dalil khusus dari syara’ , tetapi secara umum termasuk dalam maksud
firman Allah Ta’ala :
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya : Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.(Q.S. Ali Imran : 95)
10. Membaca Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi ……dst sebelum khutbah Jum’at. Disebut dalam Fatawa al-Ramli :
“ Imam Ar-Ramli ditanyai tentang seorang yang maju keluar didepan
khatib, berkata ayat; Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi,
apakah itu asal pada sunnah dan ada diperbuat dihadapan Nabi SAW
sebagaimana dilakukan sekarang atau ada diperbuat oleh salah seorang
Sahabat Nabi atau Tabi’in semoga ridha Allah untuk mereka, dengan
sifat-sifat tersebut ? Imam Ar-Ramli menjawab : “Bahwa yang demikian itu
tidak asal pada sunnah dan tidak diperbuat dihadapan Nabi SAW bahkan
Rasulullah tidak terburu-buru ke mesjid pada hari Jum’at sehingga
berkumpul manusia. Maka apabila manusia telah berkumpul, Beliau keluar
sendiri tanpa orang yang ribut bersuara keras dihadapannya. Apabila
masuk mesjid, beliau memberi salam kemudian apabila naik mimbar, beliau
menghadap manusia dengan wajahnya seraya memberi salam, kemudian duduk
dan Bilalpun melakukan azan. Apabila sudah selesai dari azan, Beliau
berdiri berkhutbah tanpa pemisahan antara azan dan khutbah, tidak dengan
atsar dan tidak dengan khabar dan juga tidak dengan lainnya. Demikian
juga keadaan para khalifah yang tiga sesudahnya. Oleh karena itu, dapat
dimaklumi bahwa sesungguhnya ini adalah bid’ah tetapi bid’ah hasanah.
Maka pembacaan ayat yang mulia merupakan pemberitahuan dan menggemarkan
mendatangkan shalawat kepada Nabi SAW pada ini hari (jum’at) hari yang
mulia yang dituntut memperbanyak shalawat. Membaca khabar sesudah azan
dan sebelum khutbah dapat mengingatkan mukallaf untuk menjauhi kalam
yang haram atau makruh pada ini waktu berdasarkan ikhtilaf ulama tentang
ini. Sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan khabar ini atas mimbar pada
saat khutbahnya”[74]
Senada dengan di atas juga disebut dalam Tuhfah al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj[75]
11. Membaca
shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan. Menurut Muhammad
‘Ilauddin al-Hashkafi, pengarang al-Dar al-Mukhtar dari kalangan Mazhab
Hanafi, tradisi pembacaan tersebut terjadi mulai tahun 781 H.[76] Keterangan
Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan merupakan bid’ah
hasanah juga disebutkan oleh pengarang al-Mawahib al-Jalil dari kalangan
Mazhab Maliki.[77] dan al-Dusuqi juga dari kalangan Mazhab Maliki[78]
12. Menulis
nama-nama surat, jumlah ayat, tanda waqaf dan lainnya dalam mashaf
al-Qur’an sebagaimana disebut oleh Muhammad ‘Ilauddin al-Hashkafi.[79]
13. Berkumpul
manusia bukan di Arafah pada hari Arafah setelah ’Ashar untuk berdo’a.
Menurut Syarwany, ini telah dilakukan oleh Ibnu Abbas, Hasan Basri dan
satu jama’ah. Al-Wana-i mengatakan termasuk bid’ah hasanah. Ali Syibran
al-Malusi mengatakan, tidak makruh.[80] Imam an-Nawawi, juga telah memasukkannya dalam katagori bid’ah hasanah[81]
14. Menggunakan sendok pada saat makan[82]
Menurut Isa bin Abdullah al-Humairy, menggunakan sendok pada saat makan
tidak termasuk bid’ah, karena masuk dalam perbuatan ‘adiyah dan
duniawiyah.[83]
15. Shalat hari raya lebih dari satu tempat dalam satu misr (kota). Menurut
Ibnu Taimiyah ini pertama sekali dillakukan oleh Ali bin Abi Thalib.
Sunnah yang ma’ruf pada zaman Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Usman,
mereka tidak shalat pada satu kota kecuali satu jum’at dan tidak shalat
hari raya qurban dan fithrah kecuali satu shalat ‘Id.[84]
16. Al-Suyuthi
memasukkan talqin mayat dalam katagori bid’ah hasanah. Menurut beliau
tidak ada hadits shahih atau hasan yang menganjurkan talqin.[85] Namun Imam Nawawi dalam al-Raudhah mengatakan :
“Hadits tersebut (hadits mengenai talqin) meskipun dha’if, tetapi
didukung oleh beberapa penyokong dari hadits-hadits shahih dan
senantiasa manusia mengamalkannya mulai masa awal pada zaman orang-orang
yang diikuti.[86]
Berdasarkan pendapat Imam Nawawi di atas, talqin tidak termasuk bid’ah.
17. Membasuh tangan saat mau makan. Al-Shawy dari kalangan Maliki menyebutnya sebagai bid’ah hasanah[87]
18. Menambah
wasiat dengan bahasa selain Bahasa Arab sebelum membaca khutbah Jum’at.
Misalnya Bahasa Indonesia, supaya pesan khatib dalam khutbah dapat
dipahami oleh jama’ah dengan baik.
19. Memperingati hari-hari besar Islam seperti Isra’ dan Mi’raj, 1 Muharram, Nuzulul Qur’an dan lain-lain
20. Dan lain-lain
G.Kriteria bid’ah hasanah
Isa bin Abdullah al-Humairy menyebutkan syarat-syarat sesuatu disebut sebagai bid’ah hasanah, yaitu[88] :
1. termasuk
dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan
‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah. Ini sesuai
dengan manthuq dan mafhum hadits :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak”..(H.R. Bukhari dan Muslim)
Makna
urusan agama dalam hadits tersebut adalah urusan yang bersifat ibadah.
Oleh karena itu, tidak disebut sebagai bid’ah perbuatan seperti memakai
mobil, sepeda motor dan lainnya, meskipun tidak ada contoh sebelumnya
pada masa Nabi SAW
2. masuk
di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat
umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk
dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan
memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
3. tidak
bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah
tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa
nafsu manusia.
4. dianggap
oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik. Menurut Isa bin
Abdullah al-Humairy, syarat terakhir ini telah disebut oleh Badruddin
al-’Ainy. Persyaratan ini sesuai dengan hadits :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : Apa saja yang dianggap oleh kaum muslimin baik, maka di sisi Allah juga baik.
Hadits ini ditakhrij oleh Ahmad dalam Musnadnya. Menurut al-‘Ilaiy, hadits ini mauquf, yaitu perkataan Abdullah bin Mas’ud[89]
Bid'ah Hasanah Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah Bag. 2
[1] Malik, al-Muwatha’, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 899, No. Hadits : 1594
[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XXII, Hal. 335, No. Hadits : 6805
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 114, No. Hadits : 3240
[4] An-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 27
[6] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 329, No. Hadits : 4609
[7] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 28, No. Hadits : 42
[8] Al-Nisa-i, Sunan al-Nisa-i, maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 188, No. Hadits : 1578
[9] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najah, Juz. III, Hal. 184, No. Hadits : 2697
[12] Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 150-151, No. Hadits : 2818
[13] Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
[14] Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
[16] Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih li Syarh al-Jami’i al-Shahih, al-Wazarah al-Auqaf wa Syu-un al-Islamiyah, Qathar, Juz. XIII, Hal. 554
[17]. Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
[18] An-Nawawi dalam Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. VII, Hal. 104-105.
[19] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
[20] Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
[21] Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qary Syarah al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155
[22] Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290
[23] Al-Jalalain, Tafsir al-Jalalain, di cetak dalam Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
[24] Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
[25] Abubakar al-Jashas, Ahkam al-Qur’an, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 623
[26] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najah, Juz. III, Hal. 184, No. Hadits : 2697
[28] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
[29] Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
[30] Ibnu al-Mulaqqan, I’lam bi Fawaid ‘Umdah al-Ahkam, Darul ‘Ashimah, Juz. X, Hal. 10
[33] An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VII, Hal. 104
[34] Al-Sanadi, Hasyiah al-Sanadi ‘ala Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 189
[35] Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 150-151, No. Hadits : 2818
[36] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
[37] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
[38] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 600
[39] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 601
[42] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 101-103, No. Hadits 3989
[43] Dr. Mustafa Khan, Mustafa al-Bagha dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab Imam Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 152
[44] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 166, No. Hadits : 2800
[45] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 5, No. Hadits : 5073
[46] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 8, No. Hadits : 913
[47] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 367, No. Hadits : 973
[48] Al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 250
[50] An-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 519
[51] Ibnu Syaraf al-Nawawi, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 25
[52] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
[53]. Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf , Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Sab’atul Kutubil Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 12
[54] Ibnu Katsir, Tafisr Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. I, Hal. 398
[55] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 253
[56] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
[57] Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
[58] Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, juz. II, Hal. 11, No hadits : 924
[59] .Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, juz. III, Hal. 45, No Hadits :2010
[60] As-Suyuthi, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih, Darun ‘Ammar, Hal. 22
[61] Al-Khuzhary Bek, Itmam al-Wifa’, al-Haramain, Singapura, Hal. 154
[62] Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
[63] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 8, No. Hadits : 913
[64] Isa bin Abdullah al-Humairy , Bid’ah Hasanah Ashal min Ushul Tasyri’, Hal.69
[65] Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
[66] .Imam ar-Ramli, Fatawa Imam ar-Ramli, dicetak pada hamisy Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 156)
[67]. Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf , Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Sab’atul Kutubil Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 12
[68] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 95
[69] Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal 363
[70] As-Suyuthi, Hasan al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid, Hal 3.
[71]Ali bin Naif al-Syahud, Khulashah fi Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid faqath, Maktabah Syamilah, Juz. II, hal. 88-89
[72] Sayyed ‘Alwi bin Ahmad as-Saqaf, al-Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 176
[73] Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 510, No. Hadits : 1323
[74] Imam Ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, dicetak pada hamisy al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 276-277
[75] Abdurrahman Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Hal. Maktabah Syamilah, Hal. 171
[76]Al-Hashkafi , al-Dar al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 420
[77] Al-Mawahib al-Jalil, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 311
[78] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 220
[79] Al-Hashkafi , al-Dar al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 705
[80] Syarwany, Hasyiah al-Syarwany, Maktabah Syamilah, IV, Hal. 108
[81] Bujairumy, Hasyiah Bujairumy ‘ala al-Khathib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 435
[82] Bujairumy, Hasyiah Bujairumy ‘ala al-Khathib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 363
[83] Isa bin Abdullah al-Humairy, al-Bid’ah al-Hasanah ashl min Ushul al-Tasyri, Hal. 115
[84] Isa bin Abdullah al-Humairy , Bid’ah Hasanah Ashal min Ushul Tasyri’, Hal.70
[85] Haqqi, Tafsir Haqqi, Maktabah Syamilah, Juz. XI, Hal. 63
[86] Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala Khathib, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 195
[87] Al-Shawy, Hasyiah al-Shawy ‘ala Syarah al-Shaghir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 271
[88] Isa bin Abdullah al-Humairy, al-Bid’ah al-Hasanah ashl min Ushul al-Tasyri, Hal. 115-120
[89] Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Hal. 63
Dari = http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2011/10/bidah-hasanah-menurut-ahlussunnah-wal_26.html